Baru –
baru ini para dosen berteriak supaya mahasiswanya yang IPK-nya rendah segera
mengajukan perbaikan nilai. Ini adalah upaya kehawatiran para dosen yang sayang
kepada mahasiswanya atau suatu rasa sayang yang dampaknya justru buruk pada
mahasiswa itu sendiri. Para dosen berteriak seperti itu bukan karena alasan,
mereka menghawatirkan mahasiswanya yang kuliah diperguruan bahwa tuntutan
pemerintah untuk penerimaan CPNS minimal harus nilai IPKnya diatas 3,00.
Sedangkan
bagi mahasiswa itu sendiri tuntutan IPK diatas 3,00 membuat suatu kehawatiran
tersendiri bagi mereka. Mereka akan berpikir bahwa masa depan mereka akan lebih
sulit bila IPK mereka dibawah 3,00. Maka Impian untuk menjadi Guru yang sudah diangkat menjadi PNS akan
menjadi sekedar impian belaka karena IPK mereka dibawah standar yang ditetapkan oleh pemerintah tidak memenuhi
syarat untuk mengikuti seleksi CPNS.
Mahasiswa
yang mempunyai IPK buruk akan semakin dilema memikirkan masa depan mereka.
Dilema yang mereka pikirkan yaitu biaya kuliah yang tinggi yang memberatkan
mereka untuk mengulang salah satu mata kuliah yang mereka tempuh sebelumya
dengan nilai yang buruk. Selain itu mereka dihadapkan dengan persepsi bahwa
dengan semakin cepat lulus, persaingan didunia kerja akan lebih ringan daripada
mereka harus menunda kelulusan karena bertambah tahun angka angkatan kerja baru
selalu bertambah. Oleh karena itu jika angkatan kerja baru bertambah banyak, persaingan
untuk mendapatkan pekerjaan baru semakin sulit.
Selain
itu, hal ini akan menekan mental mahasiswa karena dengan tuntutan seperti itu
malah bukan menjadi tantangan pribadi buat mereka. Mereka bisa saja membeli
nilai itu dari dosen-dosen mereka. Kalau mahasiswa sudah seperti ini dan
dosennya juga mengikuti mau mereka. Maka tidak ada lagi mahasiswa sejati di dunia
ini dan juga tidak ada lagi PNS yang jujur di negeri ini. Menurut Jalaludin Rahmat dalam bukunya “Perubahan
Sosial” mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang memiliki
idealisme tinggi, semangat merealisasikan tujuan perjuangan serta punya
kesiapan dan pengorbanan untuk mewujudkannya.
Ini
adalah masalah kebijakan yang juga salah oleh pemerintah. Pemerintah tidak
mampu membentuk birokrasi yang bersih mulai dari dunia pendidikan sampai ke
instasi pemerintahan. Pemerintah mengeluh banyak PNSnya yang tidak profesional.
Pemerintah tidak mampu menjalankan praktek seleksi CPNS tanpa KKN. Pemerintah
hanya mencari sistem yang mudah yang mungkin tepat tapi tetaplah tidak mampu menyeleksi CPNS dengan
bijak. Dengan IPK 3,00 ke atas bukan berarti acuan itu mampu menyeleksi CPNS
yang kompeten dan kredibel. Alasannya karena belum tentu IPK 3,00 ditempuh
dengan murni oleh mahasiswa di kampusnya. Malah aturan itu akan menutupi
peluang anak negeri ini yang unggul dengan IPK dibawah 3,00.
Seharusnya
Pemerintah kita berkaca kepada mahasiswa
era dulu. Sekitar tahun
60-an. Walau jumlah kampus masih sangat sedikit, dunia kampus kala itu, tidak
hanya bermutu secara intelektual mahasiswa, tapi juga melahirkan mahasiswa
bermutu dari sisi semangat bergerak dan berjuang. Mahasiswa yang ada bukanlah
generasi mahasiswa yang berjuang karena azas manfaat dan pragmatis. Mahasiswa
yang lahir era 60-an ialah generasi mahasiswa yang paham betul tuntutan
masyarakat. Bergerak dalam pergerakan demi terpenuhnya hak-hak rakyat yang
tertindas penguasa tirani. Berjuang dengan terus mengkritisi kebijakan
pemerintah yang tidak pro rakyat.
Perlu diingat, walau mereka aktif dalam dunia
pergerakan mahasiswa, dalam perkuliahan mereka benar-benar mendapatkan ilmu
sesuai bidangnya. Namun, ilmu yang dipelajari tersebut bukan hanya ditujukan
untuk mendapat nilai dan IPK besar. Sangat hebat dan kuat kondisi mahasiswa
‘tempoe doeloe’. Tidak cukup hanya dengan kuliah dan aktif dalam pergerakan.
Mereka juga rela kuliah sambil kerja kasar untuk membiayai kuliahnya, demi
kelangsungan hidup mereka dan keluarganya.
Perjuangan gigih yang mereka lakukan justru tidak sekedar mencetak otak yang cerdas untuk masalah akademik. Tapi juga cerdas dalam mengarungi kehidupan. Mereka bersentuhan langsung dengan realita yang penuh rasa. Rasa manis, pahit bahkan asam dan asin. Semua rasa mencirikan berbagai realita yang menghantui otak-otak mahasiswa. Sayang, tidak sedikit mahasiswa yang memilih hidup dengan rasa yang tepat.
Perjuangan gigih yang mereka lakukan justru tidak sekedar mencetak otak yang cerdas untuk masalah akademik. Tapi juga cerdas dalam mengarungi kehidupan. Mereka bersentuhan langsung dengan realita yang penuh rasa. Rasa manis, pahit bahkan asam dan asin. Semua rasa mencirikan berbagai realita yang menghantui otak-otak mahasiswa. Sayang, tidak sedikit mahasiswa yang memilih hidup dengan rasa yang tepat.
Kini, dunia mahasiswa juga dipenuhi realita yang buruk
sekali. Mahasiswa yang sebenarnya kritis dipaksa ‘tidur’. Mahasiswa yang tahu
betul dengan kebobrokan rezim dan sistem negeri ini dipenjarakan dengan
berbagai kebijakan. Intinya, segala kebijakan dibuat agar kebebasan mahasiswa
untuk ‘melawan’ lewat kendaraan organisasi-organisasi tertutup rapat. Mahasiswa
sekarang ‘dipaksa’ untuk hanya menyibukan diri mengejar prestasi akademik lewat
IPK yang besar, dipaksa untuk cepat tamat kuliah, ‘dipaksa’ untuk menolak
ajakan aksi koreksi atas kebijakan penguasa apalagi jika diajak untuk mengikuti
kegiatan Kerohanian, ‘dipaksa’ untuk tidak melek politik apalagi ngomong politik. Kini,
mahasiswa disuap oleh materi-materi sekuler yang lahir dari kurikulum yang
sekuler pula. Alhasil, akibat bodohnya otak mahasiswa sekarang, banyak
mahasiswa bangga hanya karena diiming-iming bekerja diperusahaan asing,
mendapatkan beasiswa ke luar negeri –padahal itu (tidak semua) merupakan salah
satu strategi brain wash-, bangga gaji besar, dan bangga ‘dibeli’ oleh partai
politik dan sebagainya.
Beginilah kondisi mahasiswa sekarang. Mereka adalah korban proyek Pemerintah. Sepertihalnya kurikulum yang
dipaksakan sehingga terkesan itu proyek untuk menghabiskan APBN. Mulai dari sistem hingga produk
sistem sama rusaknya. Tapi Dalam kilasan sejarah, baik pada scope nasional,
regional dan internasional urgensi dan daya dobrak yang luar biasa dari
mahasiswa sudah menjadi bukti yang cukup membuat orang-orang yang meremehkan
potensi mahasiswa akan berpikir beberapa kali sebelum melakukan tindakan
konfrontasi dengan mereka. Segala perubahan hanya terjadi lewat tangan-tangan
mahasiswa!
Terlepas dari fakta sejarah diatas, setiap generasi menuntut peran yang berbeda
dari mahasiswa. Setiap masa ada pejuang dan pemenangnya masing-masing. Setiap
era dengan berbagai realitanya akan membagi kelompok mahasiswa, menjadi biasa
atau mahasiswa luar biasa. Setiap zaman akan ada pembagian, menjadi pemain
ataukah penonton. Menjadi aktivis atau menjadi komsumtif dan individualis.
/wahyudi/
/wahyudi/
Post a Comment